Aku Meninggalkanmu, Tapi Menemukan Diriku di Turki

Aku Meninggalkanmu, Tapi Menemukan Diriku di Turki

de Halo Muda -
Número de respuestas: 0

Ada perjalanan yang membuat kita bahagia.
Ada perjalanan yang menyembuhkan.
Dan ada perjalanan yang justru membuat kita sadar… betapa kita sudah lama terluka.

Turki adalah perjalanan itu bagiku.

Awalnya aku hanya ingin pergi untuk melepas penat, melupakan seseorang yang pernah kusebut rumah. Aku kira jarak ribuan kilometer bisa menghapus kenangan. Aku kira kota baru bisa menampung hati lama yang sudah remuk. Tapi tidak ada yang semudah itu.

Hari pertamaku di Istanbul terasa aneh. Kota ini begitu ramai, tapi justru kesunyian yang paling lantang menyambutku. Keramaian jalanan Sultanahmet, tawa turis di Grand Bazaar, denting sendok teh dari kafe-kafe kecil… semuanya terdengar tapi tidak masuk. Seolah dunia tertawa, sementara aku hanya menjadi penonton.

Ketika memasuki Hagia Sophia, aku berdiri lama. Diam.
Dulu kita pernah bermimpi ke sini berdua, kan?
Kita bahkan sempat merencanakan tanggalnya.
Tapi rencana yang paling sempurna pun bisa hancur hanya karena satu keputusan sederhana: menetapkan bahwa cinta sudah selesai.

Aku berjalan menyusuri bagian dalam bangunan megah itu, dan entah kenapa dinding-dinding yang bisu itu terasa seperti mengerti kesedihanku. Aku menatap langit-langit yang menjulang begitu tinggi sangat jauh, sangat tak tersentuh, persis seperti kamu sekarang.

Malam di Galata Bridge membuat semuanya semakin berat. Lampu kota menyala terang, tapi hatiku gelap. Orang-orang memancing, tertawa, menikmati angin, dan aku hanya berdiri dalam diam sambil memandangi air hitam Bosphorus. Untuk pertama kalinya setelah sekian waktu… aku ingin menangis. Tapi air matanya tidak keluar. Rasanya seperti menahan badai di dada yang tidak pernah mau pecah.

Aku pikir Cappadocia bisa mengobati itu semua.
Katanya sunrise dari atas balon udara bisa mengubah hidup seseorang.
Aku mencoba percaya.

Saat balon itu naik perlahan ke langit, aku memandang ke bawah ke lembah, ke bukit-bukit batu, ke warna jingga yang menjalar seperti api yang lembut dan aku menangis baru sadar… bukan karena indahnya. Tapi karena seandainya kamu ada di sini, pemandangan ini pasti lebih bermakna.
Dalam diam aku memanggil namamu bukan dengan suara, tapi dengan ingatan.
Dan aku sadar, aku masih mencintaimu… bahkan setelah kamu berhenti memilihku.

Ada momen yang tidak akan aku lupakan. Ketika orang-orang sibuk berfoto, tertawa, memeluk orang yang mereka sayang, aku hanya duduk memeluk diriku sendiri. Dan di tengah gemuruh balon udara lain, seseorang tepat di sebelahku berkata:
“Indah ya… tapi kadang keindahan paling indah terasa paling menyakitkan kalau kita lihat sendirian.”

Aku tidak menjawab apa pun. Tapi hati terasa roboh.

Dan benar… keindahan turki justru membuatku menangis.
Bukan karena kota ini kurang romantis, tapi karena ia terlalu romantis untuk orang yang sedang patah.

Hari terakhirku di Istanbul adalah malam tersunyi dalam hidupku. Aku duduk sendiri di kafe tepi Bosphorus yang dulu kita simpan di wishlist bersama. Angin menyentuh rambutku seperti sentuhan yang dulu pernah kamu lakukan. Musik tradisional mengalun seperti suara yang dulu memanggil namaku. Dan teh panas di tanganku terasa seperti kenangan terakhir yang ingin kuletakkan perlahan… tapi belum mampu kulepas.

Aku akhirnya mengakui sesuatu:
Aku datang ke Turki bukan untuk melupakanmu.
Aku datang untuk mencari diriku… setelah ditinggalkan olehmu.

Perjalanan ini tidak membuatku sembuh penuh. Tidak ada keajaiban itu. Tapi Turki mengajariku cara menerima luka, bukan sekadar menyembunyikannya. Mengajariku bahwa beberapa kehilangan tidak harus segera dihapus karena justru dari kehilangan itulah kita belajar bertahan.

Di pesawat saat Istanbul menjauh dari jendela, aku berbisik sangat pelan hanya agar hatiku sendiri mendengar:

Terima kasih karena dulu pernah mencintai aku.
Terima kasih karena sekarang tidak lagi.
Karena tanpamu, mungkin aku tidak akan pernah sampai ke sini.
Dan mungkin aku tidak akan pernah tahu… bahwa aku bisa berdiri lagi setelah runtuh.

Turki tidak menghapusmu dari ingatanku.
Tapi ia memberiku keberanian untuk tidak terus menunggumu.

Dan itu… sudah cukup.